Kamis, 15 November 2007

CERPEN By Me

Im Not Miss Ego

“Ga bisa, Mah!” kesal Putri. “Aku pintar, aku yakin aku pasti diterima di Fakultas Kedokteran nanti.”
“Putri, kamu harus mengerti keadaannya sekarang ini seperti apa!” Pinta mamah.
“Mah, pokoknya aku tetap akan milih Fakultas Kedokteran.” Bantah Putri. “Percuma selama ini aku belajar kalau ternyata aku ‘ga bisa jadi dokter.”
“Putri, sekali lagi mamah minta kamu untuk ngerti. Kedokteran itu biayanya besar.” Jelas mamah. “Sebenarnya mamah sama papah juga yakin kalau otak kamu itu mampu di kedokteran.”
“Ya udah. Kalau begitu biarkan aku ke kedok-“
“Putri!” Sela Papah. “ Sekarang itu masalahnya biaya. Papah sebenarnya bisa membiayi kuliah kamu nanti di kedokteran. Tapi bagaimana dengan sekolah adik- adik kamu, Rendi yang tahun ini juga masuk SMP, dan Danar yang masuk SMA.”
“Lho, seharusnya papah dari jauh- jauh hari sebagai fasilitator buat pendidikan aku, Rendi, dan Danar sudah memperhitungkan dan mempersiapkannya karena itu merupakan tanggung jawab papah sebagai orang tua.” Jelas Putri.
“Putri-“ Sela mamah.
“Nggak! Pokoknya aku tetap ngambil kedokteran.” Kata Putri. “Mah, Pah, sekali lagi aku katakan, aku pintar, dan aku yakin aku bisa jadi dokter nanti. Carikan aku universitas lain yang biayanya ga terlalu mahal. Kalau perlu di pedaleman sekalipun, biar aku buktikan nanti!”
Putri pun meninggalkan mamah dan papah yang masih terduduk di ruang tengah menuju ke kamarnya. Dia mencoba belajar untuk persiapan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang akan dilaksanakan besok pagi.
Tiba- tiba handphonenya berbunyi. Ternyata Galang, teman SMAnya. “Udah siap buat tes besok?” Tanya Galang.
“Sembilan puluh lima persen siap.” Jawab Putri penuh percaya diri.
“Terus, lu jadi ngambil kedokteran? Bukannya bonyok ga setuju?”
“Lang, masa depan gw, gw sendiri yang nentuin.”
“Put, ada otak tapi ga ada duit, susah juga lagi!” kata Galang. “Btw, mang pendidikan lu ga diasuransiin?”
“Sayangnya ngga.” Jawab Putri. “Tapi gw dah minta sama bonyok buat cariin resensi universitas yang kedokteraannya ga terlalu mahal.”
“Putri, dimana- mana kedokteran itu mahal, ga ada yang murah. Sekalipun di pedaleman, paling bedanya Cuma berapa. Percaya deh sama gw!”
“Musyrik kalo gw percaya sama lu.” Timpal Putri.
“Terserah deh. Dasar, lu emang Miss Ego.” Balas Galang. “Tapi lu udah search scholarship belum?”
“Udah, tapi rata- rata tawarannya di bidang bisnis dan ekonomi dari perusahan- perusahan bonafit gitu.” Jawab Putri. “Dan gw sama sekali ga tertarik.”
“Ohh. Ya udah deh.” Kata Galang. “Ehm, besok lo jadi berangkat bareng gw?”
“Yup.” Jawab Putri singkat.
“Ya udah, besok gw jemput pagi- pagi buta.” Kata Galang. “Btw lagi, lu masih punya waktu beberapa jam buat mikirin pilihan jurusanlu itu. Jangan sampe nyesel. Seeya!”
Galang pun menutup teleponnya. Dan Putri hanya berbaring di tempat tidurnya, tak berselera lagi untuk belajar. Kepalanya terus bekerja memikirkan perkataan Galang tadi. Tapi dia tetap pada pilihannya, ke kedokteran. Akhirnya Putri tertidur sampai pagi menjelang.
Putri dan Galang sudah berada di sebuah sekolah negeri, tempat dimana ujian akan dilaksanakan. Udara masih terasa dingin dan langitpun belum sepenuhnya tercemar cahaya matahari. Di sana juga sepi, hanya ada beberapa anak yang sudah berdatangan.
“Kayaknya kita kepagian deh.” Kata Galang. “Mesti nunggu sejam lagi.”
“Lebih baik daripada telat satu detik.” Timpal Putri. “Lu jadi ngambil ilmu komputer sama teknik industri?”
“Yup.” Jawab Galang mengiyakan.
Tiba- tiba handphone Putri berbunyi. Ternyata mamah, yang menyuruh Putri memikirkan ulang tentang pilihannya untuk masuk ke Fakultas Kedokteran. Tapi Putri tetap menolak. Akhirnya pembicaraan mereka berdua pun selesai.
“Miss Ego, dengerin dong bonyok lu!” kata Galang.
“Lang, jangan ikut campur!” Balas Putri. “Gw ke toilet dulu.”
Putri pergi sendirian mencari- cari toilet di sekolah itu. Ternyata letaknya ada di dekat kantin sekolah. Dia mencuci mukanya, mencoba untuk menjernihkan pikirannya. Ketika dia keluar, dilihatnnya beberapa kantin sudah buka dan menjajakan makanan- makanan kecil. Akhirnya dia mendatangi sebuah kantin dan memesan segelas teh manis. Sambil menikmati sebuah kue, dia memerhatikan seorang anak kecil yang sedang asyik bermain dengan sepeda roda tiganya.
“Itu anak saya.” Kata Ibu kantin ketika menghidangkan segelas teh manis untuk Putri.
“Umurnya berapa, Bu?” Tanya Putri.
“Lima tahun.” Jawab ibu itu.
“Berarti tahun ini masuk TK dong, Bu?” tanya Putri.
“Maunya sih begitu. Tapi TK itukan biayanya besar, jadi langsung ke SD aja deh tahun depan.” Jelas ibu. “Sebenernya sih, dia juga minta dimasukkin ke TK, iri ngeliat temen- temennya yang udah pada sekolah. Tapi untungnya walau masih kecil dia ngerti juga kalo saya ga punya diut buat masukin dia ke TK.”
“Lho, memangnya bapak-“
“Suami saya udah ga ada, Neng.” Sela ibu itu sebelum Putri sempat meneruskan kata- katanya.
“Oh, maaf, Bu.” Kata Putri. “Tapi Bu, bukannya kalau masuk SD itu juga dites baca tulis?”
“Sekarang sih, dia juga belajar baca tulis di TPAnya, Neng.” Jawab ibu itu. “Untung ada TPA yang selain ngajarin ngaji, juga ngajarin baca tulis. Jadi lumayanlah buat bantu- bantu ngeringanin beban orang – orang kayak ibu yang nggak mampu masukin anak ke TK.”
Putri hanya tersenyum setelah mendengarkan omongan ibu tadi. Hatinya teriris- iris, dan malu pada anak kecil yang sedang bermain sepeda itu. Walau masih kecil, tapi dia mau mengerti keadaan orang tuanya yang tinggal satu –satunya itu. Tiba- tiba handphone Putri berbunyi, ternyata Galang yang menyuruhnya cepat kembali karena lima belas menit lagi tes akan dimulai. Setelah Galang selesai meneleponnya, ada sebuah sms masuk, ternyata dari mamah. Mamah hrp km mw mngrt. Apapun kptsn km, mamah sll m’doa’kan km. Gudluck!, itulah isi smsnya. Dengan cepat Putri pun membayar makanan tadi dan pamit kepada ibu kantin itu.
Tes pun dimulai, soal- soal yang dibagikan untuk hari pertama berupa kemampuan dasar matematika, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia yang jumlahnya masing- masing 25. Putri benar- benar berkonsentrasi memecahkan soal- soal yang ada di hadapannya itu. Dengan perhitungan yang matang, dia mencoba menggunakan waktu seefektif mungkin.
Akhirnya, 150 menit telah berlalu dan tes pun berakhir. dengan penuh percaya diri Putri meninggalkan ruang tes, dan pulang bersama Galang. Di jalan mereka membicarakan soal- soal tes tadi.
“Miss Ego, besok gw jemput pagi- pagi buta lagi, oke?” Kata Galang pamit kepada Putri setelah mengantarkannya sampai di rumah. “Seeya!”
Galang pun pulang dan Putri masuk ke rumahnya. Sampai di rumah Putri langsung belajar untuk tes terakhir yang akan diadakan besok pagi.
Akhirnya pagi datang dan Putri sedang berhadapan dengan soal- soal hari ke-2, yaitu kemampuan IPA. Dengan susah payah Putri mencoba mengerjakan soal- soal yang kelewat susah itu. Seratus lima puluh menit akhirnya berlalu, dan dengan rasa tak percaya diri Putri meninggalkan ruangan lalu pulang bersama Galang.
“Kenapa sih?” tanya Galang sambil menyetir mobilnya.
“Gw sangsi sama Fisikanya tadi.” Jawab Putri.
“Cuma fisika ‘kan?” Tanya Galang. “Kok, Miss Ego jadi down gini sih?”
“Lang-“ kata Putri yang tak sanggup melanjutkan kata- katanya karena masih memikirkan tes tadi.
“Putri, boleh gw bertaruh?”
“Maksudnya?”
“Gw yakin lu ga bakal diterima di kedokteran.” Kata Galang tenang.
“Jadi lu mau bilang SPMB ini gw bakal gagal?” tanya Putri sedikit marah.
“Tergantung. Kalo elu optionsnya Cuma kedokteran sih, iya elu gagal. Tapi kalo elu milih jurusan selain kedokteran, firasat gw sih elu bakal diterima.”
“Kok elu tau kalo gw bakal ga diterima dan, kayaknya elu optimis banget gw milih jurusan lain?”
“Feeling aja.” Jawab Galang. “Jadi, kalo feeling gw bener, elu harus jadi cewek gw. Tapi kalo gw salah, gw bersedia jadi kacung lu selama satu bulan. Gimana, Miss Ego?”
Putri hanya diam. Sepanjang perjalanan tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mereka berdua. Akhirnya Putri mulai berbicara ketika sampai di depan rumahnya.
“Lang, lo bener kalo gw ga Cuma milih kedokteran. Tapi, darimana lu tau?”
“Waktu hari pendaftaran, lo lama banget ngisi formulirnya pasti lo mikirin jurusan’kan?”
“Yup. Tapi darimana lu yakin kalo gw ga bakal diterima di kedokteran?”
“Gw termasuk orang yang percaya kalo restu orang tua itu sakral banget.” Jawab Galang. “Jadi, gimana dengan taruhan kita, Miss Ego?”
“Gw terima.” Kata Putri. “Tapi, gw masih yakin kalo gw bakal diterima di-“
“Putri gw tau sebenernya kalo lu itu ga egois.” Sela Galang. “Buktinya dengan elu milih jurusan lain, itu sama aja elu ngertiin bonyok lu. Dan sebenernya, itu yang selama ini bikin gw suka dan sayang sama lu. Jadi, sebaiknya elu percaya deh sama firasat gw. Dan bersiap- siap buat jadi cewek gw!”
“Lang, tunggu aja tanggal mainnya.” Jawab Putri yang langsung masuk ke rumah.
Akhirnya sebulanpun berlalu, dan hasil ujian SPMB diumumkan di koran- koran. Dengan perasaan tidak percaya setelah membaca koran pagi, mamah membangunkan Putri yang masih tertidur.
“Putri, kamu…, kamu tidak diterima di kedokteran.” Kata mamah pelan. Dengan perasaan kaget Putri cepat- cepat merebut koran yang ada di tangan mamahnya.
“Tapi kamu diterima di Teknik Industri.” Sambung mamah. “Kamu-“
“Hahaha…” Tiba- tiba Putri tertawa kecil. “Ternyata Galang benar. Restu orang tua itu mujarab banget.
“Mah, aku ngerti keadaannya ini sekarang seperti apa. Dan aku ga mau egois.” Jelas Putri. “Jadi, sebagai alternatif lain dari kedokteran, aku milih Teknik Industri. Lagipula prospek kedepannya baguskan?”
“Iya.” Jawab mamah tersenyum. “Tapi, mamah heran soalnya dulu’kan kamu ngotot banget mau masuk ke kedokteran. Kok, sekarang malah…”
Putri pun menceritakan tentang kejadian di pagi itu, di hari pertama tes SPMB, mengenai ibu kantin dan anaknya yang masih kecil. Dari situ dia belajar untuk memikirkan orang lain, terutama keluarga sendiri, dan tidak memaksakan egonya terus- menerus.
“Maafin aku ya, Mah!” kata Putri sambil memeluk mamahnya. Dan mamah tersenyum bangga melihat perubahan anaknya yang akan memasuki dunia perkuliahan itu.
“Hi, Babe!” Sapa Galang yang pagi itu juga sudah ada di rumah Putri. “Aku diterima di Teknik Industri. Ternyata kamu juga, kayaknya kita emang jodoh deh. Masih ingetkan taruhannya?”
“Babe? Biasanya Miss Ego.” Kata Putri. “Ya, aku bersedia menjadi kekasih hatimu, Galang.”
“Hahahaha…” mereka berdua pun tertawa.
“Aku tuh sebenernya juga sayang sama kamu dari dulu.” Kata Putri. “Makanya aku selalau mau kalo diajak pergi kemana- mana bareng kamu.”
“Oh ya? Kirain Cuma sayang sama diri sendiri aja. Kan dulu kamu Miss Ego.” Ledek Galang.
“Tuh kan…” ambek Putri.
“Bercanda.” Kata Galang. “You’re not Miss Ego, Babe.”

* * *
I Like Monday

“Huahh!!” Senin pagi kumembuka mata. “Tik tok,” jam menunjukkan pkl. 06.15. “YA AMPUN!!!” Teriakku sangat kaget, aku kesiangan padahal sekolah mulai jam 06.45, boleh sih telat tapi cuma sampai jam tujuh teng, kalo lebih dipulangin. Tanpa pikir panjang aku hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Lalu berseragam dan mengikat rambutku tanpa menyisirnya.
Aku keluar kamar dan melihat sarapan yang sudah tersedia di meja makan. Tapi tak ada waktu lagi, aku lari ke garasi, mobil tak ada di sana berarti ayah dan ibuku sudah pergi ke kantor. Aku masuk ke rumah lagi dan mengomeli si bibi yang tidak membangunkanku pagi ini. Gyo, kakakku yang baru bangun balik mengomeliku. Katanya yang salah itu aku bukan si bibi, dan seharusnya aku punya kesadaran yang tinggi akan tanggung jawab pada diriku sendiri. Ngomong apa sih dia, pikirku. Aku cepat- cepat memakai sepatu dan lari keluar rumah. “Cumi, sarapan dulu!” teriak Gyo ketika aku membuka garasi. Cumi, ya itulah panggilan sayang dari kakakku. Tapi aku menolak untuk sarapan, dan jam di tanganku menunjukkan pukul 6.35. aku berjalan dengan langkah yang panjang ke depan komplekku, aku mencari ojek di panggkalannya, tetapi kosong. Ada beberapa taksi di sana, tapi tak ada banyak uang di dompetku, maklum akhir bulan.
Sepertinya, alternatif satu- satunya adalah angkot. Dan aku harus menyebrang jalan di depanku untuk mendapatkan angkot yang lewat sekolahku. Lima menit aku menuggu jalanan sepi untuk menyebrang, tapi orang- orang norak yang berkendara ini tetap memacu mobil dan motornya dengan kecepatan seperti di jalan tol. Akhirnya, dengan nekat aku menyetop mereka walau sepertinya mereka mengomeliku. Aku menuggu angkot dengan beberapa orang yang tak kukenal. Kami berebutan setiap ada angkot yang keberadaannya jarang itu datang. Dan aku selalu mengalah kepada penumpang yang lain. Lagipula, sepertinya penolakan mengangkut anak sekolah oleh supir- supir angkot itu masih berlaku. “Gw bayar kok, Bang!” umpatku kesal ketika sebuah angkot lebih menomorsatukan penumpang- penumpang yang mau pergi kerja. Aku melihat jam, pukul 6.50. Ohw, sepertinya ini bad day, ya I hate Monday.
“Tin! Tin!” suara klakson motor, ternyata Radit, teman sekelasku. What? Dia malah jalan terus sambil melambai- lambaikan tangannya. Huh, aku sangat kesal, padahal aku mau nebeng.
“Tin! Tin!” suara klakson motor lagi, dan betapa terkejutnya aku melihat kakakku, Gyo yang masih berantakkan sudah ada di depan. Aku jadi ingat, kenapa tadi tidak minta diantar kakakku itu. “Cepet naek!” suruhnya dan aku menurut. “Brett!!” suara apa itu? Ternyata suara rokku yang robek ketika naik motor, tapi Gyo tetap menjalankan motornya, tak peduli dengan rokku. Aku pun memilih diam dengan rok yang robeknya kira- kira 10 cm itu, kalau tidak Gyo nanti malah menyuruhku turun karena kesal aku selalu mengeluh.
Lima puluh meter dari sekolahku, jalanan padat merayap. Motor saja tidak bisa menyelinap. Di jamku 6.57 terlihat begitu jelas. Aku memutuskan untuk turun dan jalan kaki ke sekolah. Gyo memberiku sebuah plastik yang kulihat ternyata sebuah tempat makan berisi sarapan. “Thanks!” kataku sambil salim.
Ada beberapa adik kelasku yang bernasib sepertiku pagi itu. Kami berjalan terburu- buru menerobos kendaraan yang mengantri sampai terhenti. Sepuluh meter dari sekolahku, jamku menunjukkan jam tujuh. Langkahku semakin tak karuan cepatnya, akhirnya aku berada tiga meter dari gerbang sekolah. Baru saja gerbang itu ditutup, dan aku tak sempat menyelinap masuk. Pukul 7.01, aku berdiri tegak di depan besi- besi yang menjadi pintu itu, di luar sekolah sambil melihat teman- temanku yang sedang berbaris di dalam dan akhirnya upacara dimulai. Setelah itu, beberapa anak bermuka cemas pun menemaniku berdiri di depan gerbang, mengharap masuk. Diantara mereka ada beberapa temanku, Fahri si Ketua OSIS, Malik wakil Ketua OSIS, dan Nadin ketua Paskibra sekolah. Kami mengumpat- umpat peraturan sekolah yang sama sekali tidak ada toleransi di hari Senin yang sibuk ini. Teman- temanku terlambat juga karena macet. Seharusnya sekolah mentolerin ritual klise di jalanan ibu kota, yaitu kemacetan.
Dengan sabar kami menuggu di luar gerbang. Terus berdiri sambil menjinjing tas yang begitu berat. Pundak terasa pegal dan kaki nyut- nyutan memprotes karena harus jalan tiba- tiba dengan cepat berpuluh- puluh meter. Ada sebagian adik- adik kelasku yang akhirnya memutuskan pulang karena pesimis tak akan diizinkan masuk. Sebagian lagi memilih menuggu, terlihat banyak juga staf guru yang datang terlambat. Mereka diperbolehkan masuk dan langsung mengikuti upacara. Apa iya, guru adalah dewa yang selalu benar.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 8.00, dan upacara pun selesai. Bu Donna salah satu staf kesiswaan menyuruh satpam membuka gerbang. Kami diperbolehkan masuk, tapi ke lapangan basket. Sepertinya aku akan menjalani beberapa hukuman. Dan itu benar, Bu Donna menyuruh kami lari keliling lapangan sebanyak sepuluh kali. Lalu baris- berbaris dengan Nadin sebagai ketuanya. Jujur, dari kecil sebenarnya aku tidak menyukai paskibra. Setelah itu harus mendengarkannya ceramah. Beliau sama sekali tak mengacuhkan alasan kami datang terlambat. “Kalau kalian tahu bahwa setiap Senin jalanan macet, kenapa kalian tidak berangkat lebih awal? Teman- teman kalian yang lain saja bisa datang tidak terlambat dan mengikuti upacara. Kalian memang tidak disiplin!” kata Beliau.
Aku pikir hampir semua guru di sini juga tidak disiplin. Buktinya tadi banyak juga yang datang terlambat. Tapi aku tak mau membantahnya, aku maklum dengan semua ini karena dari kecil kami memang telah diajar melakukan perintah orang yang lebih tua dan bukan untuk menilai perbuatan mereka. Pukul 8.30 bel berbunyi dan Bu Donna berhenti berceramah. Kemarahan kami pun sudah memuncak. Kulihat bagaimana merahnya kepalan- kepalan tangan teman- temanku sehabis mendengarkan ceramah pagi. Ya, sulutan rohani bukan siraman rohani.
Aku berjalan ke kelasku, koridor- koridor sekolah begitu kosong, semua anak sudah mulai belajar. Tetapi lain halnya dengan kelasku, begitu ramai karena sekarang jam olah raga. Semua anak telah memakai seragam olah raga dan bersiap- siap untuk ke lapangan. Suasana kelas semakin ramai ketika mereka melihatku di depan pintu. Mereka semua ingin tahu bagaimana nasibku pagi ini. Aku hanya menanggapinya dengan santai dan langsung ke kamar mandi ditemani Nisa, sahabatku untuk berganti pakaian.
Jam olah raga hanya latihan lay up kanan dan kiri. Sehabis itu selesai, tapi aku dan Nisa tetap bermain basket berdua. Tiba- tiba Radit mencampuri permainan kami. Aku tambah kesal dengannya. Nisa meniggalkanku di lapangan berdua Radit karena dia bilang belum belajar fisika untuk ulangan nanti. Aku semakin muak jika harus bermain basket dengan Radit. Aku melawannya habis- habisan. “Lo aneh banget sih hari ini?” tanyanya tapi aku tak menjawab dan melemparkan bola basket ke arahnya dengan keras lalu pergi.
Sekarang jam pelajaran biologi. Guruku memberikan tugas tak karuan banyaknya dan harus dikumpul hari ini juga. Badanku terasa pegal sekali, dan sepertinya tangan ini sudah tak sanggup lagi menulis. Tapi akhirnya aku memaksakan diri untuk meyelesaikan tugas- tugas itu. Jam pelajaran biologi selesai dan tugas- tugas pun akhirnya terselesikan. Kemudian berganti jam pelajaran fisika. Inilah yang membuatku kesiangan pagi ini, karena semaleman aku belajar fisika untuk ulangan hari ini. Aku merasa sudah siap. Dua jam pelajaran digunakan untuk ulangan, dan kepalaku terasa nyut- nyutan. Tanganku sudah lemas dan leherku sangat pegal. Setelah selesai mengisi semua soal, aku cepat- cepat ke UKS dan berbaring. Aku merasa agak mendingan karena sepertinya darah mulai mengalir lancar. Entahlah. Aku sangat capek dan ingin tidur.
Jam dua siang aku melihatnya di UKS, wajah manusia yang kucintai sejak aku mengenalnya, wajah Radit. “Elo dah bangun?” tanya Nisa. Ternyata ada Nisa juga di samping Radit. Tubuhku sangat lemas dan kepalaku pun masih nyut- nyutan.
“Gimana? Udah agak mendingan?” tanya Rdait tapi aku hanya diam. “Ya udah, elo tunggu di sini sebentar, gw parkir mobil dulu, terus kita ke rumah sakit.”
Radit pun keluar dari UKS. Nisa memaksaku untuk menuruti Radit karena dia khawatir melihat keadaanku. Radit kembali lagi dan membawaku ke mobilnya. Nisa tidak bisa ikut karena jam terakhir masih ada ulangan B. Indonesia. Radit membawaku ke sebuah rumah sakit, ternyata aku kurang darah kata dokter. Lalu aku diantarnya pulang. “Kayaknya pagi tadi elo bawa motor deh, bukan mobil.” Kataku.
“Gw minjem sama Anton, anak SOS.” Jawabnya. “Eh, gw tau kenapa dari tadi pagi elo marah sama gw. Gara- gara gw ‘ga ngasih tumpangan’kan? Sori deh, abisnya gw kira elo ngga suka naik motor.”
Aku hanya diam, tak percaya bahwa Senin sore ini aku bersama orang yang sudah lama aku sayangi. “Sayang, aku boleh nanya ga?” kata Radit tiba- tiba. Aku sangat kaget Radit memanggilku seperti itu. “Tadi waktu kamu lagi tidur, beberapa kali kamu tuh manggil nama aku. Kenapa sih?”
“Karena aku berharap malaikat penolongku dateng dan bawa aku ke rumah sakit.” Jawabku mencoba mengimbanginya, meskipun terasa aneh awalnya.
“Wahai perempuan yang duduk di sampingku. Would you like to be my princess? Because I love and I care about you.”
“Why not.” Jawabku singkat. “Ofcourse, babe.”
Akhirnya sampai di rumah aku masih tidak percaya. “Aku punya pacar!” bisikku. Di hari Senin ini, hari yang biasanya menyusahkanku malah berbalik menjadi hari yang menyenangkan. Aku kira, I like Monday.

* * *
NB:
Ada satu cerpen yang pernah dipublish di Majalah 21 Degrees edisi Mei 2007, dimana majalah itu hanya beredar di Jakarta.
Judul cerpennya: "Kamu Juga Penting".
Sedih dwh coz cerpen itu dah jadi hak cipta majalah tersebut.
jadina ga bisa ng-publish di blog sendiri...
Tapi gpp,,yang penting dah dibaca ma beberapa pelajar & mahasiswa di Jakarta..
HeHeHe,,cerpen tersebut ditujukan kepada orang yang selalu ng-underastimate-in saya.
Jadi kalo mo baca, baca z di majalah 21D edisi Mei'07!!
OKz!?

Tidak ada komentar: